SELAMA dua bulan terakhir, Rasti (32), dibentuk pusing oleh Farel (8) anak semata wayangnya yang semakin hari semakin enggan diajak belajar. Kalaupun mau diajak belajar, Farel lebih banyak bercanda atau bahkan menciptakan ulah yang kadang menciptakan Rasti jengkel.
Dan ketika diberi nasehat, Farel justru menutup kedua telinganya seolah tak mau mendengarkan apa yang dikatakan ibunya. Ekspresi itu sungguh kontras dengan ketika Farel bermain games di komputer yang sengaja disiapkan untuk membantu Farel mengenali manfaat komputer. SEBENARNYA, perkara yang dialami Rasti bukanlah problem gres alasannya yaitu kerap dialami dan dikeluhkan para orangtua. Namun, tak sedikit orangtua yang kesannya menentukan membiarkan anak melaksanakan apa yang mereka inginkan. Bisa jadi alasannya yaitu tak mau pusing mendengar tangisan anak atau bahkan alasannya yaitu sudah frustasi dan tak tau harus berbuat apa lagi.
Lantas apa sih sesungguhnya yang menimbulkan anak menjadi enggan belajar? Apakah memang benar mereka malas atau ada faktor lain yang masih bisa ditangani orangtua?
"Keengganan anak untuk berguru baik berguru sendiri ataupun didampingi orangtua bahwasanya dipicu oleh banyak faktor. Tapi kebanyakan, alasannya yaitu anak merasa tak ada tantangan yang bisa memacu semangat berguru mereka,"ungkap Mardien Suprapti, Psikolog Batam Medical Centre (BMC) yang juga konselor di Sekolah Menengan Atas Kartini Batam.
Tantangan itu sendiri bisa berasal dari ketegasan orangtua yang mengharuskan anak berguru berikut hukuman yang harus terima ketika anak melanggar. Selain itu, orangtua juga cenderung tak konsisten dengan penegakan hukum main yang telah ditetapkan tersebut.
"Kurangnya tantangan akan menciptakan anak menjadi cepat bosan dan tidak bersemangat dalam menjalani acara belajar. Apalagi, kalau orangtua menerapkan hukum dengan setengah- setengah. Hari ini tak boleh tapi besok boleh. Kalau sudah begitu, anak akan mengandalkan rengekan untuk mendapat apa yang diinginkan termasuk bebas dari kewajiban belajar,"terang Mardien.
Pada awalnya memang tak gampang menerapkan hukum tegas bagi anak. Namun, jikalau ketegasan itu diterapkan secara terus menerus dan konsisten, usang kelamaan anak akan memahami apa yang harus mereka lakukan sebagai sebuah kewajiban.
Bahkan, pada kesannya anak justru akan menganggap berguru yaitu sebuah kebutuhan yang jikalau tak dilakukan akan menciptakan anak 'kehilangan' sesuatu. Artinya, tanpa disuruh berguru pun, anak akan memahami dengan sendirinya bahwa mereka harus belajar.
Selain ketegasan dan konsistensi, penciptaan suasana yang menyenangkan bagi anak merupakan faktor penting yang tak boleh diabaikan. Sebab, suasana mempunyai tugas yang besar untuk membangkitkan mood anak biar lebih semangat belajar.
"Belajar tak harus dilakukan dalam ruang belajar, harus duduk membisu dan tak boleh diselingi candaan yang menyegarkan. Karena ruang keluarga, teras atau ruang santai lain bahwasanya juga bisa menjadi kawasan anak belajar,"saran Mardien.
Walau bisa dilakukan di semua ruangan, tapi ada hal penting yang harus diperhatikan orangtua biar konsentrasi berguru anak tak pecah. Sebisa mungkin jauhkan anak dari hal-hal yang bisa memecah konsentrasi mereka. Sebut saja, tontonan televisi, games, mainan, atau hal-hal lain yang justru akan mengalihkan perhatian anak. (*)
Ajak Anak Curhat dari Hati ke Hati SEORANG anak, meskipun masih kecil tetapi mereka tetaplah sebuah langsung yang ingin didengarkan pendapatnya oleh orang remaja khususnya oleh orangtua. Artinya, tak berbeda dengan orang dewasa, bawah umur juga tak bahagia jikalau dipaksa melaksanakan sesuatu yang sama sekali tak mereka sukai.
Sehingga, sebelum menciptakan hukum main yang akan diberlakukan terkait kewajiban belajar, orangtua sebaiknya mendengarkan harapan anak. Bagaimana metode berguru yang mereka inginkan, kapan waktu berguru yang disukai, dan sebagainya.
"Ajak anak berdiskusi dan memberikan harapan mereka.Pembicaraan dari hati ke hati akan membantu orangtua memahami apa yang paling menciptakan anak merasa nyaman,"jelas Mardien Suprapti.
Dalam proses diskusi tersebut, sebisa mungkin orangtua menanamkan empati. Diskusi bisa dimulai dengan hal-hal yang ringan terlebih dulu sebelum kesannya ke tujuan utama terkait kewajiban belajar. Bila perlu diskusi bisa dilakukan di kawasan yang disukai anak. Misalnya di restoran atau kawasan favorit anak.
Berbekal hati yang senang, biasanya anak akan lebih gampang mengungkapkan perasaan dan harapan mereka dengan lebih nyaman. Bukan itu saja, lewat diskusi dan sharing itu juga akan menciptakan anak merasa dihargai.
"Lewat diskusi, anak akan lebih bertanggungjawab dengan akad yang telah dibuat. Apalagi, jikalau orangtua menunjukkan citra perihal manfaat berguru untuk kehidupan masa depan. Tentunya diadaptasi usia anak. Misalnya anak berilmu bisa jadi dokter, polisi dan sebagainya,"katanya.
Tak ada salahnya juga orangtua menunjukkan iming-iming berupa hadiah jikalau anak berhasil meraih prestasi. Misalnya menyiapkan hadiah Istimewa jikalau anak berhasil juara kelas atau hadiah lain yang bisa menjadi pemacu semangat berguru anak.
Yang tak boleh dilakukan yaitu memutuskan sasaran juara yang harus dipenuhi anak. Sebut saja kalau tak juara akan dieksekusi dan sebagainya. Itu karena, sasaran justru akan menciptakan anak merasa tertekan dan terbebani.
"Anak yang terbebani sasaran oleh orangtuanya justru cenderung menghindari belajar, berbohong biar tak dimarahi, malas belajar, mengganggu temannya, suka menyendiri dan sebagainya,"ungkap Mardien.
Sehingga, daripada memutuskan sasaran juara, akan jauh lebih baik jikalau orangtua menunjukkan semangat, pujian, reward atau penghargaan ketika anak mencapai prestasi. Juga bantu anak untuk mengenali kelebihan mereka biar bisa menjadi prestasi yang membanggakan. (*)
Belajar tak Perlu Lama tapi Rutin MEMBIASAKAN anak untuk berguru secara rutin memang bukan problem mudah. Terlebih, bila anak tidak mempunyai semangat dan harapan besar lengan berkuasa untuk terus belajar.
Namun, sulit bukan berarti tak bisa dilakukan. Sebab, dengan cara yang sempurna akan menciptakan anak kembali bersemangat berguru atau bahkan justru menimbulkan berguru sebagai acara menyenangkan.
Nah, sebagai panduan, berikut ini ada sejumlah tips yang mungkin bisa menjadi panduan orangtua dalam mengajak anak biar mau belajar:
1. Ajak anak untuk sharing dan menceritakan keluhan yang menimbulkan mereka enggan belajar. Melalui pendekatan emosional, anak akan lebih nyaman memberikan harapan mereka.
2. Jika anak tetap enggan untuk belajar, jangan bosan merayu anak sampai meraka mau. Tapi ingat, jangan menempelkan predikat malas pada anak. Karena kata-kata malas itu akan terus- kanal menempel dalam ingatan mereka.
3. Agar anak bersemangat, ciptakan suasana yang menyenangkan. Belajar tak perlu di kamar atau ruang berguru tapi bisa di teras, ruang keluarga atau taman. Yang penting, jauhkan dulu hal-hal yang bisa memecah konsentrasi anak menyerupai tayangan televisi, games atau mainan.
4. Waktu berguru tak perlu usang tapi harus rutin. Ajak anak menentukan kapan waktu yang mereka inginkan sebagai waktu berguru mereka.
5. Terapkan hukuman tegas dan konsisten ketika anak melanggar akad yang telah dibuat.
6. Berikan reward atau penghargaan jikalau anak konsisten berguru atau bahkan meraih prestasi membanggakan.
7. Jangan memutuskan sasaran tertentu pada anak. Misalnya harus juara satu, menang ini dan itu. Target itu justru akan membebani anak dan menciptakan mereka merasa tidak nyaman. Hargailah setiap pencapaian yang diperoleh anak apapun itu.
8. Bantu anak menemukan kelebihan diri dan ajak mereka berbagi kemampuan itu biar menjadi prestasi yang membanggakan. Lewat sebuah prestasi, anak akan makin percaya diri.
9. Berusahalah untuk selalu memompa semangat anak lewat kebanggaan dan perhatian.
10. Jika di sekitar rumah, banyak anak yang seusia dengan anak Anda, dorong untuk menciptakan sebuah kelompok belajar. Lewat kelompok berguru dengan anggota anak yang seusia, anak biasanya akan lebih semangat belajar.
11. Luangkan waktu untuk mendampingi anak dan minta anak menganggap Anda sebagai sahabat berguru mereka. Katakan pada anak untuk tidak ragu menanyakan pelajaran yang sulit dan bantulah anak mempelajarinya. (*)