|
Ilustrasi uang saku. Foto by: RUMAH BUNGA NEISHA |
MEMBERIKAN uang saku pada anak merupakan hal yang umum dan masuk akal dilakukan orangtua terutama ketika anak memasuki dingklik sekolah. Bahkan, tidak jarang orangtua sudah mulai memberi uang saku begitu anak mengenal uang.
Namun, bila anak tidak dibiasakan mengelola uang saku dengan benar, dikhawatirkan anak akan menjadi pribadi yang konsumtif. Sehingga, tugas orangtua dalam membantu anak mengelola uang saku mutlak diperlukan.
"Setelah anak mendapatkan uang saku, orangtua sanggup memotivasi mereka dengan menanyakan planning yang telah dibentuk terhadap uang tersebut. Berapa uang yang akan dibelanjakan, berapa yang akan ditabung, dan sebagainya," ungkap Bibiana Dyah Sucahyani, Psikolog kota Batam.
Saat orangtua menggali planning anak terhadap uang saku tersebut, sebisa mungkin orangtua tidak memperlihatkan larangan atau perintah. Kalaupun ingin mengarahkan anak, sebaiknya disampaikan melalui pertanyaan yang mendidik.
Misalnya ketika anak ingin menabung sebesar Rp 1.000 dari total uang saku sebesar Rp 5.000, orangtua sanggup menanyakan alasan kenapa uang yang ditabung hanya Rp 1.000. Dengan begitu, anak sanggup memberikan alasan tanpa merasa diatur orangtua.
"Agar anak gampang dalam mengelola uang saku, sebaiknya uang saku tidak diberikan dengan sistem harian. Tapi sanggup diberikan tiga hari sekali atau diadaptasi umur anak. Semakin besar anak, uang saku sanggup diberikan dalam rentan waktu yang lebih lama," ungkapnya.
Jika uang saku diberikan harian, biasanya jumlahnya akan lebih sedikit. Sehingga, anak lebih sulit menciptakan perencanaan. Lain halnya bila uang saku diberikan tiga hari sekali atau seminggu sekali. Dengan jumlah yang relatif banyak anak akan lebih gampang menciptakan perencanaan.
Selain itu, ketika uang saku diberikan per hari, anak akan berpikir bahwa uang tersebut ialah uang yang diberikan untuk jajan. Sehingga, anak cenderung menghabiskan uang pada hari itu juga.
Jika nantinya anak berhasil mengelola uang saku, hal penting yang harus dilakukan orangtua ialah memperlihatkan reward atau penghargaan atas keberhasilan anak. Reward tersebut bukan berbentuk penambahan besaran uang saku pada bulan-bulan selanjutnya, tapi komplemen uang sebagai bonus di simpulan bulan.
Misalnya, kalau anak menyisihkan uang untuk membeli tas baru, reward yang diberikan sanggup berbentuk uang komplemen untuk mewujudkan keinginan anak. Sebut saja tabungan anak gres Rp 40 ribu sementara harga tas Rp 60 ribu, di simpulan bulan orangtua sanggup menambahkan Rp 20 ribu sebagai bentuk reward terhadap keberhasilan anak. (*)
Ajari Anak Menunda Keinginan HARUS diakui, mengerem keinginan anak untuk jajan atau sikap konsumtif lainnya bukanlah perkara mudah. Apalagi, bila lingkungan sekitar dipenuhi orang-orang yang gemar jajan. Baik dari anggota keluarga sendiri maupun sobat anak bersangkutan.
Dan kalau kebiasaan jajan tersebut tidak segera diatasi melalui pembuatan hukum main, dikhawatirkan anak akan menjadi pribadi yang konsumtif. Meskipun sebenarnya, orangtua tidak akan mungkin sanggup melarang anaknya untuk tidak jajan sama sekali.
Satu hal penting yang sanggup dilakukan semoga anak tidak gemar jajan ialah orangtua harus memperlihatkan teladan yang baik. Yakni sebisa mungkin orangtua jangan jajan. Termasuk membeli makanan jadi atau lauk pauk dengan alasan tidak sempat memasak.
Walaupun karenanya sepele tapi anak mencar ilmu dari teladan yang secara tidak pribadi diperlihatkan orangtua pada anaknya.
"Selain teladan yang baik, orangtua juga harus mengajari anak untuk menunda keinginan. Tak hanya akan membantu anak mengontrol emosinya, hal tersebut juga sanggup menciptakan anak mengenali mana kebutuhan dan mana keinginan," terperinci Bibiana Dyah Sucahyani, Psikolog Batam.
Caranya dengan memperlihatkan alternatif pengganti ketika anak sedang meminta sesuatu. Sebut saja, bila anak minta dibelikan es krim ketika itu juga, orangtua sanggup mengelabuhinya dengan bujukan untuk menciptakan es krim sendiri keesokan harinya. Atau meminta anak menunggu hingga kakaknya datang, dan sebagainya.
Ketika orangtua ingin melarang pun, harus disampaikan secara benar. Misalnya disertai alasan logis. Seperti tak boleh makan permen alasannya ialah anak sanggup batuk atau muntaber, dan sebagainya.
"Saat orangtua ingin melarang anaknya, jangan menakut-nakuti anak. Misalnya, kalau anak makan permen giginya dimakan ulat. Hal tersebut justru sanggup menciptakan anak mengalami ketakutan hiperbola atau justru tidak takut sama sekali," terperinci Dea, panggilan bersahabat Bibiana. (*)
Tunjukkan Manfaat yang Diperoleh Anak MENABUNG menjadi satu di antara alternatif yang sanggup ditempuh ketika anak mencar ilmu menyisihkan uang saku. Sebab biasanya, anak mempunyai motivasi tertentu ketika ingin menabung.
Agar anak mencicipi manfaat yang diperoleh dari kebiasaan menabung, orangtua harus menunjukkannya secara konkret. Misalnya sehabis seminggu, sebulan, atau setahun, tabungan tersebut sanggup diambil untuk dibelikan sesuatu yang diimpikan anak.
"Dengan melihat manfaat menabung, anak akan semakin terpacu untuk gemar menabung dan menyisihkan uang sakunya untuk disimpan. Lain halnya bila anak hanya diajari menabung tanpa dikasih tahu manfaat apa yang sanggup diperolehnya," ungkap Bibiana Dyah Sucahyani.
Untuk mengajarkan kebiasaan menabung pada anak, orangtua sanggup mengajak anak pergi ke bank. Sebut saja ketika orangtuanya akan menabung atau ketika ingin mengirim uang untuk neneknya.
Jika anak terbiasa melihat orangtuanya menabung, anak akan terpacu untuk ikut menabung yakni dengan menyisihkan uang sakunya. Tentunya dengan keinginan sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Misalnya untuk membeli pensil, penggaris, buku, atau bahkan mainan.
"Kebiasaan menabung sanggup diawali dengan menciptakan celengan. Setelah jumlahnya banyak, orangtua sanggup mengajak anak membawa uangnya tersebut untuk ditabung di bank," katanya.
Berawal dari kebiasaan-kebiasaan tersebut, anak akan termotivasi menyisihkan uang sakunya untuk ditabung semoga sanggup membeli sesuatu yang diinginkannya. (*)