|
children vector by freevector.com |
SECARA alamiah setiap orang niscaya mempunyai rasa egois serta impian mementingkan diri sendiri. Hal itu manusiawi dan masuk akal sepanjang rasa egois tidak hiperbola tertanam dalam diri seseorang atau bahkan merugikan orang lain.
Namun, bergotong-royong rasa mementingkan diri sendiri yang dimiliki setiap orang tersebut, sanggup diolah sedemikian rupa supaya sanggup dikendalikan sehingga seseorang mempunyai rasa kepedulian atau tenggang rasa pada orang lain.
"Untuk sanggup memunculkan rasa peduli atau tenggang rasa pada orang lain harus dilakukan semenjak dini atau semenjak masa kanak-kanak. Dan keberadaan rasa peduli ini tak sanggup muncul sendiri tapi harus terus dipupuk," terang Evy Rakyani, Psikolog anak Kota Batam.
Selama proses pemupukan rasa tenggang rasa tersebut, sebisa mungkin libatkan anak dalam setiap momen berbagi. Misalnya ketika berjalan-jalan di mal, berikan kesempatan pada anak untuk menentukan buah tangan untuk kakak, atau saudaranya. Dengan begitu, anak akan mempunyai inisiatif dan selalu memikirkan orang lain dalam setiap kesempatan.
"Orangtua juga sanggup melibatkan anak ketika membeli banyak barang untuk dibagikan pada orang lain. Baik saudara, teman, atau tetangga mereka. Sembari berbelanja, jelaskan pada anak bahwa kita harus selalu menyebarkan dengan sesama," kata Evy.
Proses pelibatan anak tersebut bertujuan untuk menggugah rasa peduli anak terhadap orang lain. Sebab, biasanya anak kecil akan cenderung lebih susah menyebarkan serta kurang mempunyai rasa kasihan ketika melihat orang lain atau temannya yang tidak mempunyai apa yang ia miliki.
Jika rasa kepedulian terhadap sesama sudah tertanam dalam diri anak, ke depannya anak akan lebih gampang mengikuti keadaan serta berempati ketika masuk dalam area sosial. Misalnya di lingkungan sekolah maupun taman bermain.
Proses menggugah rasa tenggang rasa anak juga sanggup dilakukan dengan menunjukkan cerita- kisah ihwal derita yang dialami orang lain terutama anak sebayanya. Misalnya anak jalanan, anak korban bencana, anak yatim piatu, dan sebagainya. Bagaimana susahnya mereka kehilangan rumah, orangtua, atau tidak mempunyai masakan untuk dimakan.
"Setelah bercerita ihwal kesedihan yang dialami anak lain, orangtua sanggup mengajaknya untuk menyumbang serta menyisihkan sedikit uang bagi mereka. Selain sanggup menumbuhkan rasa empati, kisah itu dibutuhkan juga sanggup menciptakan anak menjadi lebih bersyukur atas hidup yang dijalaninya," kata Evy. (*)
Orangtua Harus Selalu Memberi Contoh RASA tenggang rasa serta kegemaran menyebarkan sanggup juga ditumbuhkan dengan cara mencontohkan pada anak-anak. Sebab, bermula dari melihat apa yang dilakukan orangtuanya, usang kelamaan anak akan tergugah untuk mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya.
"Dalam proses pembelajaran apapun pada seorang anak, pola dari orangtua merupakan kunci utama. Sebab, sebaik apapun orangtua menunjukkan nasehat pada anak bila tidak diberikan pola akhirnya tak akan maksimal," kata Evy Rakryani.
Terutama pada bawah umur yang masuk dalam kategori the golden age atau masa keemasan yakni antara usia 3-5 tahun. Sebab, pada usia ini anak sudah mulai mengalami perubahan baik fisik dan mental. Termasuk munculnya egosentris yakni adanya pikiran bahwa segala yang ada dan tersedia ialah untuk dirinya dan untuk memenuhi kebutuhannya.
Kuatnya egosentris ini akan menghipnotis sikap anak dalam bermain. Saat bermain anak enggan meminjamkan mainanannya pada anak lain juga menolak mengembalikan mainan pinjamannya. Jika sudah begitu, orangtua harus mencontohkan bagaimana menyebarkan dengan orang lain. Sebab, kalau tidak dibantu oleh orangtua, anak akan cenderung menghindar dan menyalahkan orang lain.
Pemberian pola bagaimana cara menyebarkan kepada anak akan sangat membantu mereka dalam mengkondisikan diri ketika berada di lingkungan sosial. Mereka akan pribadi tahu bagaimana harus bersikap dan menghadapi orang lain.
"Terkadang tidak sedikit orangtua yang justru salah menunjukkan pola pada bawah umur mereka. Misalnya dengan menyembunyikan mainan supaya tidak diminta orang, atau pola lain yang akan dipahami anak bahwa semua yang tersedia ialah miliknya dan dilarang dibagi," ujarnya.
Tindakan tersebut tak hanya akan menciptakan anak sulit menyebarkan dengan orang lain tetapi juga akan menciptakan rasa tenggang rasa dalam diri anak tidak berkembang. Karenanya, sebisa mungkin orangtua harus selalu mengajarkan anak bagaimana harus berbagi. Memang menyebarkan apa yang kita suka akan terasa berat, tetapi kalau tidak dibiasakan hal tersebut akan menciptakan anak tidak mempunyai rasa peduli dengan orang lain. (*)