TRUEBUSNEWS - Tahun 1994 ada beberapa orang yang memulai menanam anggrek di halaman rumah mereka di Kampung Rawa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Lambat laun, para penanam anggrek pun kian menyebar hingga menjadi puluhan orang. Dalam hal budidaya anggrek ini, mereka memakai metode yang sama. Memanfaatkan halaman rumah sebagai arena pembibitan.
Muas, mewarisi perjuangan orang tuanya yang lebih dulu menjadi petani anggrek. Menurutnya, usahanya ini dimulai sekitar tahun 2000 dengan modal yang tidak terlalu besar.
Ketika itu, ia hanya bermodalkan uang Rp10 juta yang kemudian dipakai untuk membeli 1.000 anggrek beserta kelengkapannya.
“Ya, awalnya saya membeli 1.000 anggrek dari daerah Bogor. Lalu, saya kembangbiakkan hingga sekarang,” katanya kepada VIVA.co.id.
Setelah 13 tahun berjalan, usahanya ternyata bisa bertahan di tengah persaingan yang cukup ketat. Bahkan, kini ia juga telah mempunyai beberapa pelanggan tetap yang mendistribusikan anggreknya ke seluruh pelosok Tanah Air.
“Kalau anggreknya sudah siap jual, ada beberapa pelanggan yang sudah siap membeli. Anggrek dari saya itu, mereka kirimkan lagi ke luar Jawa,” ucap Muas.
Diakuinya, pelanggan itu bisa membeli sekitar 300-400 pohon untuk sekali order. Soal harga, per pohonnya dibanderol antara Rp15–20 ribu. Muas memang mempunyai pelanggan yang loyal alasannya kekhasan anggrek yang dijualnya.
Kini, di tangannya, sudah ada dua varian anggrek yang dijual. Antara lain, anggrek berwarna biru-ungu yang dinamai kiyoshi, dan anggrek berwarna putih-kuning berjulukan wangling.
“Jadi, hanya pelanggan yang mencari anggrek kiyoshi dan wangling saja yang tiba ke sini. Kalau mencari anggrek lain, silakan tiba ke tempat lain,” tegasnya.
Di pusat anggrek Kampung Rawa ini, ada sekitar 20 petani anggrek yang bermukim. Sebelumnya, bahkan jauh lebih banyak lagi.
Para petani anggrek di daerah ini banyak yang menjual halaman rumahnya untuk dijadikan bangunan. Praktis, yang bertahan hingga kini hanya mereka yang benar-benar menyayangi anggrek.
Namun, dengan semakin sedikitnya para petani anggrek, menciptakan petani yang bertahan kian dibanjiri berkah. Sebab, jumlah persaingan pastinya semakin menipis.
“Benar, semakin sedikit petani anggrek, kami yang bertahan ya semakin untung. Karena para pelanggan anggrek yang biasa memesan pada petani yang kini gulung tikar, menjadi beralih ke petani anggrek yang tetap bertahan. Tak aneh, jikalau tingkat undangan makin tinggi,” paparnya.
Namun, ke-20 petani anggrek itu, tidak menanam anggrek serupa. Mereka mempunyai kekhasan dan karakteristiknya masing-masing.
Karena itulah, masing-masing petani mempunyai pangsa pasar dan pelanggannya tersendiri. Cara pemasarannya pun masih sederhana, hanya berbasis telepon.
“Saya tidak khawatir kehilangan pelanggan. Karena anggrek yang saya jual ini khas. Para petani anggrek lainnya juga begitu. Mereka punya ciri khasnya,” ungkapnya.
Dari hasil pembibitan, di tempatnya dikala ini sudah ada ribuan anggrek yang siap dibesarkan dan menjadi ladang rupiah.
Untuk menjadi tanaman siap jual, harus ada beberapa proses yang dilalui dari mulai pembibitan hingga pembesaran dengan rentang waktu yang tidak sebentar.
Namun, yang dilakukannya akan terbayar lunas, jikalau anggreknya banyak dipesan pasar.
“Sebulan, saya bisa untung higienis antara Rp3–4 juta,” ujarnya.
Source : viva.co.id